Rabu, 25 Februari 2015

MAKNA DAN POSISI SERTA URGENSI BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM PRAKTEK PENDIDIKAN

1.      Pengertian Bimbingan dan Konseling
Bimbingan dan konseling merupakan terjemahan dari “guidance” dan “counseling” . Istilah “guidance” mengandung arti 1) mengarahkan (to direct), 2) memandu (to pilot), 3) mengelola (to manage), dan 4) menyetir (to steer). Menurut Shertzer dan Stone (1971:40) mengartikan bimbingan sebagai “… process of helping an individual to understand himself and his world (proses pemberian bantuan kepada individu agar mampu memahami diri dan lingkungannya)”. Untuk memudahkan ingatan kita tentang pengertian umum bimbingan, Prayitno (2004) (Sukardi, 2008: 2) mengemukakan akronim sebagai unsur-unsur pokok dalam sebuah proses bimbingan, yaitu: B = bantuan, I = individu, M = mandiri, B = bahan, I = interaksi, N = nasihat, G = gagasan, A = alat dan asuhan, dan N = norma. Dengan memasukkan semua unsur tersebut dapat dikatakan bahwa bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada individu atau kelompok agar mereka dapat mandiri melalui berbagai bahan, interaksi, nasihat, gagasan, alat, dan asuhan yang didasarkan atas norma-norma yang berlaku.
Sedangkan konseling diambil dari bahasa Inggris counseling dulu diterjemahkan dengan penyuluhan (bersifat umum), sekarang diartikan konseling itu sendiri (bersifat spesifik mengenai kejiwaan). Untuk memudahkan ingatan kita tentang pengertian umum konseling maka Prayitno (2004) (Sukardi, 2008: 5) mengemukakan akronim dari unsur-unsur pokok yang ada dalam usaha konseling, yaitu; K = kontak, O = orang, N = menangani, S = masalah, E = expert (ahli), L = laras, I = integrasi, N = norma, G = guna. Dengan demikian, pengertian konseling adalah kontak antara dua orang (yaitu konselor dan konseli) untuk menangani masalah konseli, dalam suasana keahlian yang laras dan terintegrasi, berdasarkan norma-norma yang berlaku, untuk tujuan-tujuan yang berguna bagi konseli.
2.      Kondisi Bimbingan dan Konseling (BK) di Sekolah
Bimbingan konseling (BK) sebenarnya telah ditempatkan pada posisi yang penting dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah, namun peran BK di sekolah masih belum bisa berjalan dengan optimal dikarenakan hal yang menjadi sorotan dalam pendidikan adalah kemampuan kognitif  siswa, bangunan sekolah, dan kesejahteraan guru. Jarang sekali isu kepribadian siswa diungkit, apalagi peran guru Bimbingan dan Konseling atau konselor sekolah dalam pembentukan pribadi siswa. Sehingga tidak heran, banyak siswa yang terlibat dalam kenakalan remaja seperti tawuran, penyalahgunaan obat-obat terlarang dan lain sebagainya. Padahal peran BK di sekolah sangat diperlukan karena tidak semua siswa dapat memahami dengan baik kelemahan dan kelebihan, bakat dan minatnya, serta ciri-ciri kepribadiannya, dapat mengenal dan memanfaatkan lingkungannya secara maksimal, dapat menerima keadaan dirinya seperti apa adanya, baik penerimaan terhadap kelebihan atau pun kelemahannya. Seperti keadaan jasmani, keuangan dan keadaan keluarga, maupun penerimaan terhadap ciri-ciri kepribadiannya, dapat merencanakan masa depannya secara mantap dan mengembangka potensi yang dimilikinya secara optimal. Isu BK seperti ini mengakibatkan sekolah-sekolah tidak memiliki paradigma yang tunggal terhadap BK.Ada beberapa paradigma yang berkaitan dengan BK di sekolah yaitu:
a.       Sekolah yang sadar betul pentingnya BK untuk membangun karakter siswa.   
b.     Sekolah yang sadar akan kedudukan BK dalam pembentukan pribadi siswa, tetapi tidak didukung oleh materi, tenaga dan yayasan atau pemerintah.
c.       Sekolah yang masih menerapkan manajemen BKjadul.
d.      Sekolah yang belum memiliki manajemen BK.
3.      Landasan Psikologis Bimbingan dan Konseling
Landasan psikologis dalam bimbingan dan konseling pada hakikatnya merupakan faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan khususnya oleh konselor selaku pelaksana utama dalam mengembangkan layanan bimbingan dan konseling. Untuk kepentingan bimbingan dan konseling, beberapa kajian psikologi yang perlu dikuasai oleh konselor adalah:
a.     Motif dan Motivasi
Motif dan motivasi berkenaan dengan dorongan yang menggerakkan seseorang berperilaku. Motif dibagi menjadi dua yaitu motif primer dan motif sekunder. Motif primer adalah motif yang didasari oleh kebutuhan asli yang dimiliki oleh individu semenjak ia lahir. Seperti: rasa lapar, bernafas dan lain sebagainya. Sedangkan motif sekunder adalah motif yang terbentuk dari hasil belajar, sperti: rekreasi, memperoleh pengetahuan atau keterampilan tertentu dan sejenisnya. Selanjutnya motif-motif tersebut tersebut diaktifkan dan digerakkan,baik dari dalam diri individu (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik), menjadi bentuk perilaku instrumental atau aktivitas tertentu yang mengarah pada suatu tujuan.
b.      Konflik dan Frustasi
Motif-motif yang dihadapi individu itu kadang positif, kadang negatif dan kadang campuran keduanya. konflik yang dialami oleh individu menurut Syamsu Yusuf (2009: 165) dibedakan menjadi tiga jenis yaitu:
1) Konflik mendekat-mendekat, yaitu kondisi psikis yang dialami individu yang disebabkan dua motif positif yang sama kuat. Motif positif ini maksudnya adalah motif yang disenangi atau diinginkan oleh individu tersebut.
2)   Konflik menjauh-menjauh, yaitu kondisi psikis yang dialami individu yang disebabkan dua motif negatif yang sama kuat. Motif negatif adalah motif yang tidak disenangi oleh individu.
3) Konflik mendekat-menjauh, yaitu kondisi psikis yang dialami individu yang disebabkan oleh motif positif dan negative yang sama kuat.
Menurut Syamsu Yusuf(2009: 166) frustasi dapat diartikan sebagai kekecewaan dalam diri individu yang disebabkan oleh tidak tercapainya keinginan. Pengertian lain dari frustasi adalah perasaan kecewa yang mendalam karena tujuan yang dikehendaki tidak kunjung terlaksana.
Sarlito Wirawan Sarwono (Yusuf, 2009: 166) mengelompokkan frustasi berdasarkan sumbernya ke dalam tiga golongan yaitu;
1)   Frustasi lingkungan, disebabkan oleh rintangan yang berasal dari lingkungan.
2)   Frustasi pribadi, timbul karena ketidakmampuan individu untuk mencapai tujuan.
3)   Frustasi konflik, disebabkan oleh konflik dari berbagai motif dalam diri individu.
Reaksi individu terhadap frustasi yang dialaminya berbeda-beda. Perbedaan reaksi tersebut dapat dilihat dari kegiatan yang dilakukannya. Ada yang menghadapi dengan rasional, tetapi ada juga yang reaksinya terlalu emosional. Adapun wujud dari cara-cara individu dalam bereaksi terhadap frustasi yang dialaminya, diantaranya adalah sebagai berikut; Agresi marah, bertindak secara eksplosif, dengan cara introversi, perasaan tak berdaya, kemunduran, fiksasi, penekanan, rasionalisasi, proyeksi, kompensasi, dan sublimasi. 
c.       Sikap
Sarlito Wirawan Sarwono (Yusuf, 2009: 169) mengemukakan, bahwa “sikap adalah kesiapan seseorang bertindak terhadap hal-hal tertentu”. Unsur-unsur sikap menurut Syamsu Yusuf(2009: 170) meliputi;
1.      Unsur kognisi
2.      Unsur afeksi
3.      Unsur kecenderungan bertindak
Sedangkan ciri-ciri sikap menurut Sarlito (Yusuf, 2009: 170) meliputi;
1.      Dalam sikap selalu terdapat hubungan antara subjek-objek
2.      Tidak ada sikap yang tanpa objek
3.     Objek sikap dapat berupa benda, orang, nilai-nilai, pandangan hidup, agama, hokum, lembaga masyarakat, dan sebagainya.
Menurut Sartain, dkk. (Yusif, 2009: 171) terdapat empat faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap, yaitu sebagai berikut;
1.      Faktor pengalaman khusus
2.      Faktor komunikasi dengan orang lain
3.      Faktor model
4.      Faktor lembaga-lembaga sosial
d.   Pembawaan dan Lingkungan
Pembawaan dan lingkungan berkenaan dengan faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhi perilaku individu. Pembawaan yaitu segala sesuatu yang dibawa sejak lahir dan merupakan hasil dari keturunan, yang mencakup aspek psiko-fisik.
e.       Perkembangan Individu
Perkembangan individu berkenaan dengan proses tumbuh dan berkembangnya individu yang merentang sejak masa konsepsi (pra natal) hingga akhir hayatnya, diantaranya meliputi aspek fisik dan psikomotorik, bahasa dan kognitif/kecerdasan, moral dan sosial.
f.    Masalah Penyesuaian Diri Dan Kesehatan Mental
Penyesuaian dibagi menjadi penyesuaian normal dan penyesuaian tidak normal. Penyesuaian normal sifatnya baik sedangkan penyesuaian tidak normal sifatnya tidak wajar dan menyimpang. Penyesuaian tidak normal ditandai dengan reaksi bertahan, menyerang, melarikan diri dari kenyataa, dan penyesuaian yang patologis.
g.      Masalah Belajar
Masalah akan selalu ada dalam kegiatan manusia, begitupun dalam belajar. Untuk membantu mengatasi masalah belajar langkah-langkahnya sebagai berikut:
1)      Mengidentifikasi masalah
2)      Mengidentifikasi letak masalah
3)      Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab masalah
4)      Prognosis
5)      Treathment
h.      Kecerdasan Majemuk
i.        Kecerdasan Emosional
j.        Kecerdasan Spiritual
4.      Landasan Sosiologis (Sosial-Budaya)  Bimbingan dan Konseling
Faktor-faktor sosial budaya yang menimbulkan kebutuhan akan bimbingan menurut John J. Pietrofesa dkk., (1980); M. Surya & Rochman N.,(1986); dan Rochman N., (1987) adalah sebagai berikut;
a.       Perubahan Konstelasi Keluarga
b.      Perkembangan Pendidikan
c.       Dunia Kerja
d.      Perkembangan Kota Metropolitan
e.       Perkembangan Komunikasi
f.       Seksisme dan Rasisme
g.      Kesehatan Mental
h.      Perkembangan Teknologi
i.        Kondisi Moral dan Keagamaan
j.        Kondisi sosial Ekonomi
5.      Landasan Pedagogis Bimbingan dan Konseling
Sunaryo kartadinata (2011: 23) mengemukakan bahwa bimbingan dan konseling adalah upaya pedagogis untuk memfasilitasi perkembangan individu dari kondisi apa adanya kepada kondisi bagaimana seharusnya sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh setiap individu, sehingga bimbingan dan konseling adalah sebuah upaya normatif. Tohirin (2007: 103) mengatakan bahwa landasan bimbingan dan konseling setidaknya berkaitan dengan:
a.       Pendidikan sebagai upaya pengembangan individu dan bimbingan merupakan salah satu bentuk kegiatan pendidikan,
b.      Pendidikan sebagai inti proses bimbingan dan konseling, dan
c.       Pendidikan sebagai inti tujuan bimbingan dan konseling.
6.      Landasan Agama Bimbingan dan Konseling
a.       Hakikat Manusia Menurut Agama
sifat hakiki manusia adalah makhluk beragama (homo religius), yaitu makhluk yang mempunyai fitrah untuk memahami dan menerima nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari agama, serta sekaligus menjadikan kebenaran agama itu sebagai rujukan (referensi) sikap dan perilakunya. Dapat juga dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki motif  beragama, rasa keagamaan, dan kemampuan untuk memahami serta mengamalkan nilai-nilai agama.
b.      Peranan Agama
1)      Memelihara fitrah
2)      Memelihara jiwa
3)      Memelihara akal
4)      Memelihara keturunan
c.       Persyaratan Konselor
Prayitno dan Erman Amti mengemukakakan persyaratan bagi konselor, yaitu sebagai berikut;
1)      Konselor hendaklah orang yang beragama dan mengamalkan dengan baik keimanan dan ketaqwaannya sesuai dengan agama yang dianutnya.
2)      Konselor sedapat-dapatnya mampu mentransfer kaidah-kaidah agama secara garis besar yang relevan dengan masalh klien.
3)      Konselor harus benar-benar memperhatikan dan  menghormati agama klien.
7.      Landasan Ilmiah dan Teknologi (Perkembangan IPTEK)
a.       Keilmuan Bimbingan dan Konseling
Tohirin (2007: 101) mengatakan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling merupakan kegiatan professional yang dilaksanakan atas dasar keilmuan baik yang menyangkut teori-teorinya, pelaksanaan kegiatannya, maupun pengembangannya.
b.      Peran Ilmu Lain dan Teknologi dalam Bimbingan dan Konseling
Ilmu bimbingan dan konseling bersifat multireferensial, artinya suatu disiplin ilmu dengan rujukan atau referensi dari ilmu-ilmu lain seperti psikologi, ilmu pendidikan, ilmu sosiologi, antropologi, ekonomi, ilmu agama, ilmu hukum, filsafat, dan lain-lain.
c.       Pengembangan Bimbingan Konseling Melalui Penelitian
Pengembangan teori dan pendekatan bimbingan dan konseling boleh jadi dapat dikembangkan melalui proses pemikiran dan perenungan, namun pengembangan yang lebih lengkap dan teruji didalam praktek adalah apabila pemikiran dan perenungan itu memperhatikan pula hasil-hasil penelitian dilapangan.
8.      Sejarah bimbingan dan konseling di Indonesia
Gerakan bimbingan lahir pada tanggal 13 Januari 1908 di Amerika, dengan didirikannya suatu vocational bureau tahun 1908 oleh Frank Parsons yang utuk selanjutnya dikenal sebagai“Father of The Guedance Movement in American Education”. Yang menekankan pentingnya setiap individu diberikan pertolongan agar mereka dapat mengenal atau memahami berbagai perbuatan dan kelemahan yang ada pada dirinya dengan tujuan agar dapat dipergunakan secara intelijensi dengan memilih pekerjaan yang terbaik yang tepat bagi dirinya. pertama kalinya istilah Bimbingan (Vocational Guidance) dikenal, tepatnya pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 di Boston. Dengan didirikannya biro yang bergerak di bidang profesi dan ketenaga kerjaan. Dengan tujuan membantu para pemuda dalam memilih karir yang ia bidangi dan melatih para guru untuk memberikan layanan bimbingan di sekolah.
Pada masa yang hampir bersamaan, seorang konselor di Detroit Jasse B. Davis mulai memberikan layanan Konseling Pendidikan dan pekerjaan di SMA (1898). Dan pada tahun 1907 ia mencoba memasukkan program Bimbingan (Guidance) ke dalam pengalaman pendidikan para siswa Central High School di Detroit. Eli Weaver pada tahun 1905 mendirikan sebuah komite yang diketuainya sendiri yaituStudents Aid Committee Of  The High School di New york. Dalam pengembangan komitenya, Weaver sampai pada kesimpulan bahwa siswa butuh saran dan konsultasi sebelum mereka masuk  dunia kerja. Pada tahun 1920-an, para konselor sekolah di Boston dan New York diharapkan dapat membantu para siswa dalam memilih sekolah dan pekerjaan. Selama tahun 1920-an itu pula, sertifikasi konselor sekolah mulai diterapkan pada kedua kota tersebut (Bimo Walgito, 2010:15)
9.      Perkembangan Bimbingan Konseling Di Indonesia
             Diawali pada tahun 1908 dengan bedirinya oganisasi pemuda Budi Utomo hingga pada periode selanjutnya berdirilah perguruan  Taman Siswa pada tahun 1922 yang diprakarsai oleh Ki Hajar Dewantara yang menanamkan nilai-nilai Nasionalisme di kalangan para siswanya. Dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dan didirikannya beberapa kementrian pada waktu itu (ada Kantor Penempatan Kerja) yang salah satu kegiatannya dilakukan di Kantor Penempatan Tenaga Kerja yang maksudnya untuk menempatkan orang-orang agar dapat bekerja sesuai dengan kemampuannya dan ini menyerupai Vocational  Bureau yang didirikan oleh Frank Parsons di Boston. Sekarang, kantor Penempatan Tenaga Kerja ini tumbuh menjadi Departemen Tenaga Kerja.
Dalam perkembangannya, bimbingan dan konseling di Indonesia memiliki alur yang sama seperti halnya perkembangannya di Amerika, yaitu bermula dari bimbingan pekerjaan (Vocational Guidance) lalu merambah kepada bimbingan pendidikan (Education Guidance). Perkembangan Bimbingan Konseling dalam sistem pendidikan di Indonesia mengalami beberapa perubahan nama. Pada kurikulum 1984 semula disebut Bimbingan dan Penyuluhan (BP), kemudian pada Kurikulum 1994 berganti nama menjadi Bimbingan dan Konseling (BK) sampai dengan sekarang.




sumber: 
Kartadinata, Sunaryo. (2011). Menguak Tabir Bimbingan dan Konseling Sebagai Upaya Pedagogis. Bandung: UPI Press
Sukardi, Dewa Ketut Drs. MBA. MM. dan Desak P.E. Nila Kusmwati, S.Si, M.Si. (2008). Proses Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta
Syamsu, Yusuf Dr., L.N. dan Dr. A. Juntika Nurihsan. (2009). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Rosda
Tohirin, Drs. M. Pd. (2007).Bimbingan dan konseling di sekolah dan madrasah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada