1.
Pengertian Bimbingan dan Konseling
Bimbingan dan konseling merupakan terjemahan dari “guidance”
dan “counseling” . Istilah “guidance” mengandung arti 1)
mengarahkan (to direct), 2) memandu (to pilot), 3) mengelola (to
manage), dan 4) menyetir (to steer). Menurut Shertzer dan Stone
(1971:40) mengartikan bimbingan sebagai “… process of helping an individual
to understand himself and his world (proses pemberian bantuan kepada
individu agar mampu memahami diri dan lingkungannya)”. Untuk memudahkan ingatan
kita tentang pengertian umum bimbingan, Prayitno (2004) (Sukardi, 2008: 2)
mengemukakan akronim sebagai unsur-unsur pokok dalam sebuah proses bimbingan,
yaitu: B = bantuan, I = individu, M = mandiri, B = bahan, I = interaksi, N =
nasihat, G = gagasan, A = alat dan asuhan, dan N = norma. Dengan memasukkan
semua unsur tersebut dapat dikatakan bahwa bimbingan merupakan bantuan yang
diberikan kepada individu atau kelompok agar mereka dapat mandiri melalui
berbagai bahan, interaksi, nasihat, gagasan, alat, dan asuhan yang didasarkan
atas norma-norma yang berlaku.
Sedangkan
konseling diambil dari bahasa Inggris counseling
dulu diterjemahkan dengan penyuluhan (bersifat umum), sekarang diartikan
konseling itu sendiri (bersifat spesifik mengenai kejiwaan). Untuk memudahkan ingatan kita tentang
pengertian umum konseling maka Prayitno (2004) (Sukardi, 2008: 5) mengemukakan
akronim dari unsur-unsur pokok yang ada dalam usaha konseling, yaitu; K = kontak,
O = orang, N = menangani, S = masalah, E = expert (ahli), L = laras, I =
integrasi, N = norma, G = guna. Dengan demikian, pengertian konseling adalah
kontak antara dua orang (yaitu konselor dan konseli) untuk menangani masalah
konseli, dalam suasana keahlian yang laras dan terintegrasi, berdasarkan
norma-norma yang berlaku, untuk tujuan-tujuan yang berguna bagi konseli.
2.
Kondisi Bimbingan dan Konseling
(BK) di Sekolah
Bimbingan konseling (BK) sebenarnya telah
ditempatkan pada posisi yang penting dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah, namun
peran BK di sekolah masih belum bisa berjalan dengan optimal dikarenakan hal
yang menjadi sorotan dalam pendidikan adalah kemampuan kognitif siswa, bangunan sekolah, dan kesejahteraan guru. Jarang sekali isu kepribadian
siswa diungkit, apalagi peran guru Bimbingan dan Konseling atau konselor
sekolah dalam pembentukan pribadi siswa. Sehingga tidak heran, banyak siswa yang terlibat dalam kenakalan
remaja seperti tawuran, penyalahgunaan obat-obat terlarang dan lain sebagainya. Padahal peran BK di sekolah sangat diperlukan karena tidak semua siswa dapat
memahami dengan baik kelemahan dan kelebihan, bakat dan minatnya, serta ciri-ciri
kepribadiannya, dapat mengenal dan memanfaatkan lingkungannya secara maksimal, dapat menerima keadaan dirinya seperti apa adanya, baik
penerimaan terhadap kelebihan atau pun kelemahannya. Seperti keadaan jasmani,
keuangan dan keadaan keluarga, maupun penerimaan terhadap ciri-ciri
kepribadiannya, dapat merencanakan masa depannya secara mantap dan mengembangka
potensi yang dimilikinya secara optimal. Isu BK
seperti ini mengakibatkan
sekolah-sekolah tidak memiliki paradigma yang tunggal terhadap BK.Ada beberapa paradigma yang berkaitan dengan BK di
sekolah yaitu:
a. Sekolah yang sadar betul
pentingnya BK untuk membangun karakter siswa.
b. Sekolah yang sadar akan
kedudukan BK dalam pembentukan pribadi siswa, tetapi tidak didukung oleh
materi, tenaga dan yayasan atau pemerintah.
c. Sekolah yang masih menerapkan
manajemen BK “jadul”.
d. Sekolah yang belum memiliki
manajemen BK.
3. Landasan Psikologis Bimbingan dan
Konseling
Landasan psikologis dalam bimbingan dan
konseling pada hakikatnya merupakan faktor-faktor yang harus diperhatikan dan
dipertimbangkan khususnya oleh konselor selaku pelaksana utama dalam
mengembangkan layanan bimbingan dan konseling. Untuk kepentingan bimbingan dan konseling,
beberapa kajian psikologi yang perlu dikuasai oleh konselor adalah:
a. Motif dan Motivasi
Motif dan
motivasi berkenaan dengan dorongan yang menggerakkan seseorang berperilaku.
Motif dibagi menjadi dua yaitu motif primer dan motif sekunder. Motif primer
adalah motif yang didasari oleh kebutuhan asli yang dimiliki oleh individu
semenjak ia lahir. Seperti: rasa lapar, bernafas dan lain sebagainya. Sedangkan
motif sekunder adalah motif yang terbentuk dari hasil belajar, sperti:
rekreasi, memperoleh pengetahuan atau keterampilan tertentu dan sejenisnya. Selanjutnya
motif-motif tersebut tersebut diaktifkan dan digerakkan,baik dari dalam diri
individu (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik),
menjadi bentuk perilaku instrumental atau aktivitas tertentu yang mengarah pada
suatu tujuan.
b. Konflik dan Frustasi
Motif-motif yang dihadapi individu itu kadang positif, kadang negatif dan kadang campuran keduanya. konflik yang dialami oleh individu menurut Syamsu Yusuf
(2009: 165) dibedakan menjadi tiga jenis yaitu:
1) Konflik
mendekat-mendekat, yaitu kondisi psikis yang dialami individu yang disebabkan
dua motif positif yang sama kuat. Motif positif ini maksudnya adalah motif yang
disenangi atau diinginkan oleh individu tersebut.
2) Konflik
menjauh-menjauh, yaitu kondisi psikis yang dialami individu yang disebabkan dua
motif negatif yang sama kuat. Motif negatif adalah motif yang tidak disenangi
oleh individu.
3) Konflik
mendekat-menjauh, yaitu kondisi psikis yang dialami individu yang disebabkan
oleh motif positif dan negative yang sama kuat.
Menurut Syamsu
Yusuf(2009: 166) frustasi dapat diartikan sebagai kekecewaan dalam diri
individu yang disebabkan oleh tidak tercapainya keinginan. Pengertian lain dari
frustasi adalah perasaan kecewa yang mendalam karena tujuan yang dikehendaki
tidak kunjung terlaksana.
Sarlito Wirawan
Sarwono (Yusuf, 2009: 166) mengelompokkan frustasi berdasarkan sumbernya ke
dalam tiga golongan yaitu;
1)
Frustasi
lingkungan, disebabkan oleh rintangan yang berasal dari lingkungan.
2)
Frustasi
pribadi, timbul karena ketidakmampuan individu untuk mencapai tujuan.
3)
Frustasi
konflik, disebabkan oleh konflik dari berbagai motif dalam diri individu.
Reaksi individu
terhadap frustasi yang dialaminya berbeda-beda. Perbedaan reaksi tersebut dapat
dilihat dari kegiatan yang dilakukannya. Ada yang menghadapi dengan rasional,
tetapi ada juga yang reaksinya terlalu emosional. Adapun wujud dari cara-cara
individu dalam bereaksi terhadap frustasi yang dialaminya, diantaranya adalah
sebagai berikut; Agresi marah, bertindak secara eksplosif, dengan cara
introversi, perasaan tak berdaya, kemunduran, fiksasi, penekanan, rasionalisasi,
proyeksi, kompensasi, dan sublimasi.
c. Sikap
Sarlito
Wirawan Sarwono (Yusuf, 2009: 169) mengemukakan, bahwa “sikap adalah kesiapan seseorang
bertindak terhadap hal-hal tertentu”. Unsur-unsur sikap menurut Syamsu
Yusuf(2009: 170) meliputi;
1.
Unsur
kognisi
2.
Unsur
afeksi
3.
Unsur
kecenderungan bertindak
Sedangkan
ciri-ciri sikap menurut Sarlito (Yusuf, 2009: 170) meliputi;
1.
Dalam
sikap selalu terdapat hubungan antara subjek-objek
2.
Tidak
ada sikap yang tanpa objek
3. Objek
sikap dapat berupa benda, orang, nilai-nilai, pandangan hidup, agama, hokum, lembaga
masyarakat, dan sebagainya.
Menurut Sartain, dkk. (Yusif, 2009: 171)
terdapat empat faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap, yaitu sebagai
berikut;
1.
Faktor
pengalaman khusus
2.
Faktor
komunikasi dengan orang lain
3.
Faktor
model
4.
Faktor
lembaga-lembaga sosial
d. Pembawaan dan Lingkungan
Pembawaan
dan lingkungan berkenaan dengan faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhi
perilaku individu. Pembawaan yaitu segala sesuatu yang dibawa sejak lahir dan
merupakan hasil dari keturunan, yang mencakup aspek psiko-fisik.
e. Perkembangan Individu
Perkembangan
individu berkenaan dengan proses tumbuh dan berkembangnya individu yang
merentang sejak masa konsepsi (pra natal) hingga akhir hayatnya, diantaranya
meliputi aspek fisik dan psikomotorik, bahasa dan kognitif/kecerdasan, moral
dan sosial.
f. Masalah Penyesuaian Diri Dan Kesehatan Mental
Penyesuaian
dibagi menjadi penyesuaian normal dan penyesuaian tidak normal. Penyesuaian normal
sifatnya baik sedangkan penyesuaian tidak normal sifatnya tidak wajar dan
menyimpang. Penyesuaian tidak normal ditandai dengan reaksi bertahan, menyerang,
melarikan diri dari kenyataa, dan penyesuaian yang patologis.
g. Masalah Belajar
Masalah
akan selalu ada dalam kegiatan manusia, begitupun dalam belajar. Untuk membantu
mengatasi masalah belajar langkah-langkahnya sebagai berikut:
1)
Mengidentifikasi
masalah
2)
Mengidentifikasi
letak masalah
3)
Mengidentifikasi
faktor-faktor penyebab masalah
4)
Prognosis
5)
Treathment
h. Kecerdasan Majemuk
i.
Kecerdasan
Emosional
j.
Kecerdasan
Spiritual
4. Landasan Sosiologis (Sosial-Budaya)
Bimbingan dan Konseling
Faktor-faktor sosial budaya yang menimbulkan
kebutuhan akan bimbingan menurut John J. Pietrofesa dkk., (1980); M. Surya & Rochman N.,(1986); dan Rochman N., (1987)
adalah sebagai berikut;
a.
Perubahan Konstelasi Keluarga
b.
Perkembangan Pendidikan
c.
Dunia Kerja
d.
Perkembangan Kota Metropolitan
e.
Perkembangan Komunikasi
f.
Seksisme dan Rasisme
g.
Kesehatan Mental
h.
Perkembangan Teknologi
i.
Kondisi Moral dan Keagamaan
j.
Kondisi sosial Ekonomi
5. Landasan Pedagogis Bimbingan dan
Konseling
Sunaryo kartadinata (2011: 23) mengemukakan
bahwa bimbingan dan konseling adalah upaya pedagogis untuk memfasilitasi
perkembangan individu dari kondisi apa adanya kepada kondisi bagaimana
seharusnya sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh setiap individu, sehingga
bimbingan dan konseling adalah sebuah upaya normatif. Tohirin (2007: 103)
mengatakan bahwa landasan bimbingan dan konseling setidaknya berkaitan dengan:
a. Pendidikan sebagai upaya pengembangan
individu dan bimbingan merupakan salah satu bentuk kegiatan pendidikan,
b. Pendidikan sebagai inti proses bimbingan dan
konseling, dan
c. Pendidikan sebagai inti tujuan bimbingan dan
konseling.
6.
Landasan Agama Bimbingan dan Konseling
a.
Hakikat
Manusia Menurut Agama
sifat
hakiki manusia adalah makhluk beragama (homo
religius), yaitu makhluk yang mempunyai fitrah untuk memahami dan menerima
nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari agama, serta sekaligus menjadikan
kebenaran agama itu sebagai rujukan (referensi)
sikap dan perilakunya. Dapat juga dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang
memiliki motif beragama, rasa keagamaan,
dan kemampuan untuk memahami serta mengamalkan nilai-nilai agama.
b.
Peranan
Agama
1)
Memelihara
fitrah
2)
Memelihara
jiwa
3)
Memelihara
akal
4)
Memelihara
keturunan
c.
Persyaratan
Konselor
Prayitno dan Erman Amti
mengemukakakan persyaratan bagi
konselor, yaitu sebagai berikut;
1) Konselor hendaklah orang
yang beragama dan mengamalkan dengan baik keimanan dan ketaqwaannya sesuai
dengan agama yang dianutnya.
2) Konselor
sedapat-dapatnya mampu mentransfer kaidah-kaidah agama secara garis besar yang
relevan dengan masalh klien.
3) Konselor harus
benar-benar memperhatikan dan
menghormati agama klien.
7.
Landasan Ilmiah dan Teknologi (Perkembangan
IPTEK)
a.
Keilmuan
Bimbingan dan Konseling
Tohirin
(2007: 101) mengatakan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling merupakan
kegiatan professional yang dilaksanakan atas dasar keilmuan baik yang
menyangkut teori-teorinya, pelaksanaan kegiatannya, maupun pengembangannya.
b. Peran Ilmu Lain dan
Teknologi dalam Bimbingan dan Konseling
Ilmu
bimbingan dan konseling bersifat multireferensial, artinya suatu
disiplin ilmu dengan rujukan atau referensi dari ilmu-ilmu lain seperti
psikologi, ilmu pendidikan, ilmu sosiologi, antropologi, ekonomi, ilmu agama,
ilmu hukum, filsafat, dan lain-lain.
c. Pengembangan Bimbingan Konseling Melalui
Penelitian
Pengembangan
teori dan pendekatan bimbingan dan konseling boleh jadi dapat dikembangkan
melalui proses pemikiran dan perenungan, namun pengembangan yang lebih lengkap
dan teruji didalam praktek adalah apabila pemikiran dan perenungan itu
memperhatikan pula hasil-hasil penelitian dilapangan.
8.
Sejarah bimbingan dan konseling di Indonesia
Gerakan bimbingan lahir pada tanggal
13 Januari 1908 di Amerika, dengan didirikannya suatu vocational
bureau tahun 1908 oleh Frank Parsons yang utuk selanjutnya dikenal
sebagai“Father of The Guedance Movement in American Education”. Yang
menekankan pentingnya setiap individu diberikan pertolongan agar mereka dapat
mengenal atau memahami berbagai perbuatan dan kelemahan yang ada pada dirinya
dengan tujuan agar dapat dipergunakan secara intelijensi dengan memilih
pekerjaan yang terbaik yang tepat bagi dirinya. pertama kalinya istilah
Bimbingan (Vocational Guidance) dikenal, tepatnya pada akhir
abad ke-19 hingga awal abad ke-20 di Boston. Dengan didirikannya biro yang
bergerak di bidang profesi dan ketenaga kerjaan. Dengan tujuan membantu para
pemuda dalam memilih karir yang ia bidangi dan melatih para guru untuk
memberikan layanan bimbingan di sekolah.
Pada masa yang hampir bersamaan,
seorang konselor di Detroit Jasse B. Davis mulai memberikan
layanan Konseling Pendidikan dan pekerjaan di SMA (1898). Dan pada tahun 1907
ia mencoba memasukkan program Bimbingan (Guidance) ke dalam
pengalaman pendidikan para siswa Central High School di
Detroit. Eli Weaver pada tahun 1905 mendirikan sebuah komite yang diketuainya
sendiri yaituStudents Aid Committee Of
The High School di New york. Dalam pengembangan komitenya,
Weaver sampai pada kesimpulan bahwa siswa butuh saran dan konsultasi sebelum
mereka masuk dunia kerja. Pada tahun
1920-an, para konselor sekolah di Boston dan New York diharapkan dapat membantu
para siswa dalam memilih sekolah dan pekerjaan. Selama tahun 1920-an itu pula,
sertifikasi konselor sekolah mulai diterapkan pada kedua kota tersebut (Bimo
Walgito, 2010:15)
9.
Perkembangan
Bimbingan Konseling Di Indonesia
Diawali pada tahun 1908 dengan
bedirinya oganisasi pemuda Budi Utomo hingga pada periode selanjutnya
berdirilah perguruan Taman Siswa pada tahun 1922 yang diprakarsai
oleh Ki Hajar Dewantara yang menanamkan nilai-nilai Nasionalisme di kalangan
para siswanya. Dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945 dan didirikannya beberapa kementrian pada waktu itu (ada Kantor
Penempatan Kerja) yang salah satu kegiatannya dilakukan di Kantor
Penempatan Tenaga Kerja yang maksudnya untuk menempatkan orang-orang agar dapat
bekerja sesuai dengan kemampuannya dan ini menyerupai Vocational Bureau yang
didirikan oleh Frank Parsons di Boston. Sekarang, kantor Penempatan Tenaga
Kerja ini tumbuh menjadi Departemen Tenaga Kerja.
Dalam perkembangannya, bimbingan dan
konseling di Indonesia memiliki alur yang sama seperti halnya perkembangannya
di Amerika, yaitu bermula dari bimbingan pekerjaan (Vocational
Guidance) lalu merambah kepada bimbingan pendidikan (Education
Guidance). Perkembangan Bimbingan Konseling dalam sistem pendidikan di
Indonesia mengalami beberapa perubahan nama. Pada kurikulum 1984 semula disebut
Bimbingan dan Penyuluhan (BP), kemudian pada Kurikulum 1994 berganti nama
menjadi Bimbingan dan Konseling (BK) sampai dengan sekarang.
sumber:
Kartadinata,
Sunaryo. (2011). Menguak Tabir Bimbingan
dan Konseling Sebagai Upaya Pedagogis. Bandung: UPI Press
Sukardi,
Dewa Ketut Drs. MBA. MM. dan Desak P.E. Nila Kusmwati, S.Si, M.Si. (2008). Proses Bimbingan dan Konseling di Sekolah.
Jakarta: Rineka Cipta
Syamsu,
Yusuf Dr., L.N. dan Dr. A. Juntika Nurihsan. (2009). Landasan Bimbingan dan
Konseling. Bandung: Rosda
Tohirin,
Drs. M. Pd. (2007).Bimbingan dan
konseling di sekolah dan madrasah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
http://edukasi.kompasiana.com/2010/03/11/kedudukan-bimbingan-dan-konseling-di-sekolah-90963.html(diakses tanggal 23
Februari 2015)
1.
Pengertian Bimbingan dan Konseling
Bimbingan dan konseling merupakan terjemahan dari “guidance”
dan “counseling” . Istilah “guidance” mengandung arti 1)
mengarahkan (to direct), 2) memandu (to pilot), 3) mengelola (to
manage), dan 4) menyetir (to steer). Menurut Shertzer dan Stone
(1971:40) mengartikan bimbingan sebagai “… process of helping an individual
to understand himself and his world (proses pemberian bantuan kepada
individu agar mampu memahami diri dan lingkungannya)”. Untuk memudahkan ingatan
kita tentang pengertian umum bimbingan, Prayitno (2004) (Sukardi, 2008: 2)
mengemukakan akronim sebagai unsur-unsur pokok dalam sebuah proses bimbingan,
yaitu: B = bantuan, I = individu, M = mandiri, B = bahan, I = interaksi, N =
nasihat, G = gagasan, A = alat dan asuhan, dan N = norma. Dengan memasukkan
semua unsur tersebut dapat dikatakan bahwa bimbingan merupakan bantuan yang
diberikan kepada individu atau kelompok agar mereka dapat mandiri melalui
berbagai bahan, interaksi, nasihat, gagasan, alat, dan asuhan yang didasarkan
atas norma-norma yang berlaku.
Sedangkan
konseling diambil dari bahasa Inggris counseling
dulu diterjemahkan dengan penyuluhan (bersifat umum), sekarang diartikan
konseling itu sendiri (bersifat spesifik mengenai kejiwaan). Untuk memudahkan ingatan kita tentang
pengertian umum konseling maka Prayitno (2004) (Sukardi, 2008: 5) mengemukakan
akronim dari unsur-unsur pokok yang ada dalam usaha konseling, yaitu; K = kontak,
O = orang, N = menangani, S = masalah, E = expert (ahli), L = laras, I =
integrasi, N = norma, G = guna. Dengan demikian, pengertian konseling adalah
kontak antara dua orang (yaitu konselor dan konseli) untuk menangani masalah
konseli, dalam suasana keahlian yang laras dan terintegrasi, berdasarkan
norma-norma yang berlaku, untuk tujuan-tujuan yang berguna bagi konseli.
2.
Kondisi Bimbingan dan Konseling
(BK) di Sekolah
Bimbingan konseling (BK) sebenarnya telah
ditempatkan pada posisi yang penting dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah, namun
peran BK di sekolah masih belum bisa berjalan dengan optimal dikarenakan hal
yang menjadi sorotan dalam pendidikan adalah kemampuan kognitif siswa, bangunan sekolah, dan kesejahteraan guru. Jarang sekali isu kepribadian
siswa diungkit, apalagi peran guru Bimbingan dan Konseling atau konselor
sekolah dalam pembentukan pribadi siswa. Sehingga tidak heran, banyak siswa yang terlibat dalam kenakalan
remaja seperti tawuran, penyalahgunaan obat-obat terlarang dan lain sebagainya. Padahal peran BK di sekolah sangat diperlukan karena tidak semua siswa dapat
memahami dengan baik kelemahan dan kelebihan, bakat dan minatnya, serta ciri-ciri
kepribadiannya, dapat mengenal dan memanfaatkan lingkungannya secara maksimal, dapat menerima keadaan dirinya seperti apa adanya, baik
penerimaan terhadap kelebihan atau pun kelemahannya. Seperti keadaan jasmani,
keuangan dan keadaan keluarga, maupun penerimaan terhadap ciri-ciri
kepribadiannya, dapat merencanakan masa depannya secara mantap dan mengembangka
potensi yang dimilikinya secara optimal. Isu BK
seperti ini mengakibatkan
sekolah-sekolah tidak memiliki paradigma yang tunggal terhadap BK.Ada beberapa paradigma yang berkaitan dengan BK di
sekolah yaitu:
a. Sekolah yang sadar betul
pentingnya BK untuk membangun karakter siswa.
b. Sekolah yang sadar akan
kedudukan BK dalam pembentukan pribadi siswa, tetapi tidak didukung oleh
materi, tenaga dan yayasan atau pemerintah.
c. Sekolah yang masih menerapkan
manajemen BK “jadul”.
d. Sekolah yang belum memiliki
manajemen BK.
3. Landasan Psikologis Bimbingan dan
Konseling
Landasan psikologis dalam bimbingan dan
konseling pada hakikatnya merupakan faktor-faktor yang harus diperhatikan dan
dipertimbangkan khususnya oleh konselor selaku pelaksana utama dalam
mengembangkan layanan bimbingan dan konseling. Untuk kepentingan bimbingan dan konseling,
beberapa kajian psikologi yang perlu dikuasai oleh konselor adalah:
a. Motif dan Motivasi
Motif dan
motivasi berkenaan dengan dorongan yang menggerakkan seseorang berperilaku.
Motif dibagi menjadi dua yaitu motif primer dan motif sekunder. Motif primer
adalah motif yang didasari oleh kebutuhan asli yang dimiliki oleh individu
semenjak ia lahir. Seperti: rasa lapar, bernafas dan lain sebagainya. Sedangkan
motif sekunder adalah motif yang terbentuk dari hasil belajar, sperti:
rekreasi, memperoleh pengetahuan atau keterampilan tertentu dan sejenisnya. Selanjutnya
motif-motif tersebut tersebut diaktifkan dan digerakkan,baik dari dalam diri
individu (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik),
menjadi bentuk perilaku instrumental atau aktivitas tertentu yang mengarah pada
suatu tujuan.
b. Konflik dan Frustasi
Motif-motif yang dihadapi individu itu kadang positif, kadang negatif dan kadang campuran keduanya. konflik yang dialami oleh individu menurut Syamsu Yusuf
(2009: 165) dibedakan menjadi tiga jenis yaitu:
1) Konflik
mendekat-mendekat, yaitu kondisi psikis yang dialami individu yang disebabkan
dua motif positif yang sama kuat. Motif positif ini maksudnya adalah motif yang
disenangi atau diinginkan oleh individu tersebut.
2) Konflik
menjauh-menjauh, yaitu kondisi psikis yang dialami individu yang disebabkan dua
motif negatif yang sama kuat. Motif negatif adalah motif yang tidak disenangi
oleh individu.
3) Konflik
mendekat-menjauh, yaitu kondisi psikis yang dialami individu yang disebabkan
oleh motif positif dan negative yang sama kuat.
Menurut Syamsu
Yusuf(2009: 166) frustasi dapat diartikan sebagai kekecewaan dalam diri
individu yang disebabkan oleh tidak tercapainya keinginan. Pengertian lain dari
frustasi adalah perasaan kecewa yang mendalam karena tujuan yang dikehendaki
tidak kunjung terlaksana.
Sarlito Wirawan
Sarwono (Yusuf, 2009: 166) mengelompokkan frustasi berdasarkan sumbernya ke
dalam tiga golongan yaitu;
1)
Frustasi
lingkungan, disebabkan oleh rintangan yang berasal dari lingkungan.
2)
Frustasi
pribadi, timbul karena ketidakmampuan individu untuk mencapai tujuan.
3)
Frustasi
konflik, disebabkan oleh konflik dari berbagai motif dalam diri individu.
Reaksi individu
terhadap frustasi yang dialaminya berbeda-beda. Perbedaan reaksi tersebut dapat
dilihat dari kegiatan yang dilakukannya. Ada yang menghadapi dengan rasional,
tetapi ada juga yang reaksinya terlalu emosional. Adapun wujud dari cara-cara
individu dalam bereaksi terhadap frustasi yang dialaminya, diantaranya adalah
sebagai berikut; Agresi marah, bertindak secara eksplosif, dengan cara
introversi, perasaan tak berdaya, kemunduran, fiksasi, penekanan, rasionalisasi,
proyeksi, kompensasi, dan sublimasi.
c. Sikap
Sarlito
Wirawan Sarwono (Yusuf, 2009: 169) mengemukakan, bahwa “sikap adalah kesiapan seseorang
bertindak terhadap hal-hal tertentu”. Unsur-unsur sikap menurut Syamsu
Yusuf(2009: 170) meliputi;
1.
Unsur
kognisi
2.
Unsur
afeksi
3.
Unsur
kecenderungan bertindak
Sedangkan
ciri-ciri sikap menurut Sarlito (Yusuf, 2009: 170) meliputi;
1.
Dalam
sikap selalu terdapat hubungan antara subjek-objek
2.
Tidak
ada sikap yang tanpa objek
3. Objek
sikap dapat berupa benda, orang, nilai-nilai, pandangan hidup, agama, hokum, lembaga
masyarakat, dan sebagainya.
Menurut Sartain, dkk. (Yusif, 2009: 171)
terdapat empat faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap, yaitu sebagai
berikut;
1.
Faktor
pengalaman khusus
2.
Faktor
komunikasi dengan orang lain
3.
Faktor
model
4.
Faktor
lembaga-lembaga sosial
d. Pembawaan dan Lingkungan
Pembawaan
dan lingkungan berkenaan dengan faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhi
perilaku individu. Pembawaan yaitu segala sesuatu yang dibawa sejak lahir dan
merupakan hasil dari keturunan, yang mencakup aspek psiko-fisik.
e. Perkembangan Individu
Perkembangan
individu berkenaan dengan proses tumbuh dan berkembangnya individu yang
merentang sejak masa konsepsi (pra natal) hingga akhir hayatnya, diantaranya
meliputi aspek fisik dan psikomotorik, bahasa dan kognitif/kecerdasan, moral
dan sosial.
f. Masalah Penyesuaian Diri Dan Kesehatan Mental
Penyesuaian
dibagi menjadi penyesuaian normal dan penyesuaian tidak normal. Penyesuaian normal
sifatnya baik sedangkan penyesuaian tidak normal sifatnya tidak wajar dan
menyimpang. Penyesuaian tidak normal ditandai dengan reaksi bertahan, menyerang,
melarikan diri dari kenyataa, dan penyesuaian yang patologis.
g. Masalah Belajar
Masalah
akan selalu ada dalam kegiatan manusia, begitupun dalam belajar. Untuk membantu
mengatasi masalah belajar langkah-langkahnya sebagai berikut:
1)
Mengidentifikasi
masalah
2)
Mengidentifikasi
letak masalah
3)
Mengidentifikasi
faktor-faktor penyebab masalah
4)
Prognosis
5)
Treathment
h. Kecerdasan Majemuk
i.
Kecerdasan
Emosional
j.
Kecerdasan
Spiritual
4. Landasan Sosiologis (Sosial-Budaya)
Bimbingan dan Konseling
Faktor-faktor sosial budaya yang menimbulkan
kebutuhan akan bimbingan menurut John J. Pietrofesa dkk., (1980); M. Surya & Rochman N.,(1986); dan Rochman N., (1987)
adalah sebagai berikut;
a.
Perubahan Konstelasi Keluarga
b.
Perkembangan Pendidikan
c.
Dunia Kerja
d.
Perkembangan Kota Metropolitan
e.
Perkembangan Komunikasi
f.
Seksisme dan Rasisme
g.
Kesehatan Mental
h.
Perkembangan Teknologi
i.
Kondisi Moral dan Keagamaan
j.
Kondisi sosial Ekonomi
5. Landasan Pedagogis Bimbingan dan
Konseling
Sunaryo kartadinata (2011: 23) mengemukakan
bahwa bimbingan dan konseling adalah upaya pedagogis untuk memfasilitasi
perkembangan individu dari kondisi apa adanya kepada kondisi bagaimana
seharusnya sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh setiap individu, sehingga
bimbingan dan konseling adalah sebuah upaya normatif. Tohirin (2007: 103)
mengatakan bahwa landasan bimbingan dan konseling setidaknya berkaitan dengan:
a. Pendidikan sebagai upaya pengembangan
individu dan bimbingan merupakan salah satu bentuk kegiatan pendidikan,
b. Pendidikan sebagai inti proses bimbingan dan
konseling, dan
c. Pendidikan sebagai inti tujuan bimbingan dan
konseling.
6.
Landasan Agama Bimbingan dan Konseling
a.
Hakikat
Manusia Menurut Agama
sifat
hakiki manusia adalah makhluk beragama (homo
religius), yaitu makhluk yang mempunyai fitrah untuk memahami dan menerima
nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari agama, serta sekaligus menjadikan
kebenaran agama itu sebagai rujukan (referensi)
sikap dan perilakunya. Dapat juga dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang
memiliki motif beragama, rasa keagamaan,
dan kemampuan untuk memahami serta mengamalkan nilai-nilai agama.
b.
Peranan
Agama
1)
Memelihara
fitrah
2)
Memelihara
jiwa
3)
Memelihara
akal
4)
Memelihara
keturunan
c.
Persyaratan
Konselor
Prayitno dan Erman Amti
mengemukakakan persyaratan bagi
konselor, yaitu sebagai berikut;
1) Konselor hendaklah orang
yang beragama dan mengamalkan dengan baik keimanan dan ketaqwaannya sesuai
dengan agama yang dianutnya.
2) Konselor
sedapat-dapatnya mampu mentransfer kaidah-kaidah agama secara garis besar yang
relevan dengan masalh klien.
3) Konselor harus
benar-benar memperhatikan dan
menghormati agama klien.
7.
Landasan Ilmiah dan Teknologi (Perkembangan
IPTEK)
a.
Keilmuan
Bimbingan dan Konseling
Tohirin
(2007: 101) mengatakan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling merupakan
kegiatan professional yang dilaksanakan atas dasar keilmuan baik yang
menyangkut teori-teorinya, pelaksanaan kegiatannya, maupun pengembangannya.
b. Peran Ilmu Lain dan
Teknologi dalam Bimbingan dan Konseling
Ilmu
bimbingan dan konseling bersifat multireferensial, artinya suatu
disiplin ilmu dengan rujukan atau referensi dari ilmu-ilmu lain seperti
psikologi, ilmu pendidikan, ilmu sosiologi, antropologi, ekonomi, ilmu agama,
ilmu hukum, filsafat, dan lain-lain.
c. Pengembangan Bimbingan Konseling Melalui
Penelitian
Pengembangan
teori dan pendekatan bimbingan dan konseling boleh jadi dapat dikembangkan
melalui proses pemikiran dan perenungan, namun pengembangan yang lebih lengkap
dan teruji didalam praktek adalah apabila pemikiran dan perenungan itu
memperhatikan pula hasil-hasil penelitian dilapangan.
8.
Sejarah bimbingan dan konseling di Indonesia
Gerakan bimbingan lahir pada tanggal
13 Januari 1908 di Amerika, dengan didirikannya suatu vocational
bureau tahun 1908 oleh Frank Parsons yang utuk selanjutnya dikenal
sebagai“Father of The Guedance Movement in American Education”. Yang
menekankan pentingnya setiap individu diberikan pertolongan agar mereka dapat
mengenal atau memahami berbagai perbuatan dan kelemahan yang ada pada dirinya
dengan tujuan agar dapat dipergunakan secara intelijensi dengan memilih
pekerjaan yang terbaik yang tepat bagi dirinya. pertama kalinya istilah
Bimbingan (Vocational Guidance) dikenal, tepatnya pada akhir
abad ke-19 hingga awal abad ke-20 di Boston. Dengan didirikannya biro yang
bergerak di bidang profesi dan ketenaga kerjaan. Dengan tujuan membantu para
pemuda dalam memilih karir yang ia bidangi dan melatih para guru untuk
memberikan layanan bimbingan di sekolah.
Pada masa yang hampir bersamaan,
seorang konselor di Detroit Jasse B. Davis mulai memberikan
layanan Konseling Pendidikan dan pekerjaan di SMA (1898). Dan pada tahun 1907
ia mencoba memasukkan program Bimbingan (Guidance) ke dalam
pengalaman pendidikan para siswa Central High School di
Detroit. Eli Weaver pada tahun 1905 mendirikan sebuah komite yang diketuainya
sendiri yaituStudents Aid Committee Of
The High School di New york. Dalam pengembangan komitenya,
Weaver sampai pada kesimpulan bahwa siswa butuh saran dan konsultasi sebelum
mereka masuk dunia kerja. Pada tahun
1920-an, para konselor sekolah di Boston dan New York diharapkan dapat membantu
para siswa dalam memilih sekolah dan pekerjaan. Selama tahun 1920-an itu pula,
sertifikasi konselor sekolah mulai diterapkan pada kedua kota tersebut (Bimo
Walgito, 2010:15)
9.
Perkembangan
Bimbingan Konseling Di Indonesia
Diawali pada tahun 1908 dengan
bedirinya oganisasi pemuda Budi Utomo hingga pada periode selanjutnya
berdirilah perguruan Taman Siswa pada tahun 1922 yang diprakarsai
oleh Ki Hajar Dewantara yang menanamkan nilai-nilai Nasionalisme di kalangan
para siswanya. Dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945 dan didirikannya beberapa kementrian pada waktu itu (ada Kantor
Penempatan Kerja) yang salah satu kegiatannya dilakukan di Kantor
Penempatan Tenaga Kerja yang maksudnya untuk menempatkan orang-orang agar dapat
bekerja sesuai dengan kemampuannya dan ini menyerupai Vocational Bureau yang
didirikan oleh Frank Parsons di Boston. Sekarang, kantor Penempatan Tenaga
Kerja ini tumbuh menjadi Departemen Tenaga Kerja.
Dalam perkembangannya, bimbingan dan
konseling di Indonesia memiliki alur yang sama seperti halnya perkembangannya
di Amerika, yaitu bermula dari bimbingan pekerjaan (Vocational
Guidance) lalu merambah kepada bimbingan pendidikan (Education
Guidance). Perkembangan Bimbingan Konseling dalam sistem pendidikan di
Indonesia mengalami beberapa perubahan nama. Pada kurikulum 1984 semula disebut
Bimbingan dan Penyuluhan (BP), kemudian pada Kurikulum 1994 berganti nama
menjadi Bimbingan dan Konseling (BK) sampai dengan sekarang.
sumber:
Kartadinata,
Sunaryo. (2011). Menguak Tabir Bimbingan
dan Konseling Sebagai Upaya Pedagogis. Bandung: UPI Press
Sukardi,
Dewa Ketut Drs. MBA. MM. dan Desak P.E. Nila Kusmwati, S.Si, M.Si. (2008). Proses Bimbingan dan Konseling di Sekolah.
Jakarta: Rineka Cipta
Syamsu,
Yusuf Dr., L.N. dan Dr. A. Juntika Nurihsan. (2009). Landasan Bimbingan dan
Konseling. Bandung: Rosda
Tohirin,
Drs. M. Pd. (2007).Bimbingan dan
konseling di sekolah dan madrasah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
http://edukasi.kompasiana.com/2010/03/11/kedudukan-bimbingan-dan-konseling-di-sekolah-90963.html(diakses tanggal 23
Februari 2015)